Tiakur, Medianusantara.com- Kekhawatiran serta gonjang-ganjing di ranah publik terkait status dan kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU ) pada perhelatan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada September 2020 mendatang, semakin ramai diperbincangkan.
Hal ini dikarenakan belum adanya hasil Judicial review atas Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Polemik terkait status dan fungsi pengawasan BAWASLU pada Pilkada mendatang dikhawatirkan publik tidak berjalan dengan mulus lantaran belum adanya revisi Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 atau semacam yudisial revieuw tentang pasal-pasal yang mengatur kewenangan Bawaslu disana.
Dalam Undang-undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada, yang disebutkan sebagai lembaga pengawas disana adalah Panwaslu bukan Bawaslu. Sehingga publik menghendaki agar status Bawaslu dan Panwaslu lebih diperjelas lewat sebuah regulasi yang tidak abstrak agar tidak ada tabrakan kepentingan antara kedua penyelenggara apalagi ini berhadapan dengan partai politik sehingga tidak boleh sampai ada ruang yang bisa kemudian menimbulkan gesekan lintas penyelenggara (KPU & BAWASLU) akibat dari status Bawaslu.
Dalam keterangannya Ketua Divisi Hukum Bawaslu Kabupaten Maluku Barat Daya Enjel Markus S. IP yang dikonfirmasi wartawan diruang kerjanya senin (10/2), menjelaskan, pada dasarnya Bawaslu adalah Panwaslu dan sebaliknya Panwaslu adalah Bawaslu tegasnya.
Menurutnya, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 48/PPU-XVIII/2019 yang pada pokoknya memaknai "Frasa Panwaslu Kabupaten / kota dalam undang-undang Pemilihan umum sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota" terang Enjel.
Ditambahkan, MK juga telah memutuskan bahwa jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/kota sama dengan jumlah anggota Panwaslu Kabupaten/kota ungkapnya. Untuk itu, Pemerintah tidak mungkin lagi membentuk satu lembaga yang sifatnya adhoc kemudian menghapus yang sudah ada.
"Kan tidak mungkin lagi Pemerintah membentuk lagi lembaga adhoc yang baru, lalu kemudian membatalkan yang lama Jadi, Panwas tetap Bawaslu"ujarnya.
Dijelaskan, beberapa waktu lalu pada saat melakukan penandatanganan Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) maka Bawaslu Maluku Barat Daya yang dipanggil untuk mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini kata dia mensyaratkan kepercayaan negara kepada lembaga ini.
Lanjut Enjel, sesuai surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia bernomor 273/487/SJ Tahun 2019 tentang Penegasan dan penjelasan pelaksanaan teknis terkait pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 imbuhnya sekalipun nomenklatur Bawaslu itu belum dirubah dengan Panwaslu.
"Jadi intinya itu soal perbedaan nama pada nomenklatur saja tapi kan sudah ada putusan MK yang melegitimasi hal itu", pungkasnya.
Ditanya soal kewenangan Bawaslu, Markus menjelaskan, bahwa pada dasarnya kewenangan kita sama sesuai amanat undang-undang.
"Setelah adanya putusan MK itu keluar maka kewenangan kita adalah pengawasan dan Panwas cam juga bisa menangani sengketa sesuai dengan amanat undang-undang Pilkada namun secara teknis, materinya belum dikirim dari pusat,” ungkapnya.
Untuk itu, kalau ada perdebatan soal kewenangan maka pasti sudah dibahas di pusat dan itu terbuka untuk publik dan secara internal pasti ada arahan kepada kami namun sejauh ini belum ada sehingga kewenangan Bawaslu setelah dikeluarkan putusan MK maka tetap sama dan tidak berubah tegasnya.(JL)