Camkanlah bahwa cara berpikir tentang BETA TANIMBAR adalah hasil Refleksi dari Budaya Duan Lolat.
Sejarah merupakan bagian yang tidak akan pernah dihilangkan dari kehidupan manusia, karena sejarah merupakan bagian dari perjalanan masa lalu, sekarang, dan akan datang. Kejadian atau perilaku sosial yang kita hadapi sekarang tentu sangat berbeda dengan masa lalu. Inilah yang disebut dengan perubahan sosial.
Maka, Budaya adalah identitas sebuah suku bangsa. Karena selain mengekspresikan cara pikir, cara rasa dan cara tindak sebuah suku bangsa dalam menghayati dan menghidupi berbagai nilai secara turun-temurun, bagaimana cara suku bangsa itu mempertahankan jati diri di muka bumi.
Orang Tanimbar sebagai sebuah suku bangsa juga memiliki budaya yang diwarisi oleh para leluhur dan hingga kini tetap dipertahankan. Paradoks Budaya Beta Tanimbar lazim disebut“Duan-Lolat atau“ndrue-uranak. Tiddak ada hubungannya dengan POLITIK IDENTITAS yang di salahtafsirkan oleh orang per orang dalam kedudukan filosofi budaya duan lolat.
Untuk dipahami bahwa relasi duan-lolat ini sifatnya mengikat dan membawa resiko dalam jalinan kekeluargaan. Baik duan maupun lolat memiliki hak dan kewajiban yang daripadanya terpancar kekeluargaan yang kental disertai dengan rasa“ketergantungan" yang unik. Lolat akan bergantung sepenuhnya kepada duannya. Dari relasi ketergantungan inilah duan maupun lolat menemukan jati diri sebagai manusia Tanimbar dalam totalitasnya.
Dalam budaya duan-lolat kedudukan wanita begitu unik. Wanita menjadi “sentra" kehidupan orang Tanimbar. Garis keturunan seorang manusia Tanimbar harus dirunut dari garis keturunan ibu. Hal ini lebih menarik lagi, ketika terjadi perkawinan antara seorang perempuan dan laki-laki Tanimbar. Dari perkawinan itu terjalin relasi-relasi baru antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki. Relasi baru itu dilukiskan sebagai duan dan lolat. Keluarga perempuan adalah duan dari keluarga laki-laki, dan keluarga laki-laki adalah lolat dari keluarga perempuan.
Relasi duan-lolat sebagai akibat dari perkawinan menggambarkan betapa tingginya harkat dan martabat perempuan Tanimbar. Perempaun Tanimbar ditempatkan sebagai “pribadi yang agung” yang dari padanya terpancar kehidupan yang universal. Keagungan pribadi perempuan Tanimbar itu dilukiskan dalam sebutan “ompak ain”; tanah tempat berpijak atau tempat berseminya kehidupan. Dengan sebutan ini, perempuan Tanimbar dipersonifikasi sebagai pemelihara kehidupan manusia. Sedangkan laki-laki dilukiskan sebagai “udan ain”; tempat datangnya hujan atau tempat datangnya kehidupan”.
Justru karena kecintaan PETRUS FATLOLON pada Budaya Duan Lolat, pada Rakyat Tanimbar maka Paradoks BETA TANIMBAR selalu tegak berdiri pada masa dulu, sekarang dan akan datang sehingga cita cita budaya Duan Lolat selalu dijaga dalam Bingkai DUAN LOLAT.
Filosofi “BETA TANIMBAR” tentu menjadi spiritualitas filosofi DUAN DAN LOLAT. Dengan cara ini ditegaskan soal kedudukan “duan” dan “lolat”. Secara harafia “duan” adalah “tuan” dari “lolat”, sedangkan “lolat” adalah “hamba” dari “duan”. Di satu pihak relasi duan-lolat memperlihatkan adanya kekeluargaan yang kental, namun pada pihak lain ia menampilkan ketidaksejajaran antara “duan” dan “lolat”. “Duan” lebih tinggi kedudukan dari “lolat”.
Lantas penekanan yang berlebihan terhadap Beta Tanimbar oleh orang orang yang miskin konteks dalam berbudaya duan lolat tentu akan menyebabkan orang orang itu tidak bebas mengekspresikan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Seolah-olah Beta Tanimbar menjadi halangan dan hambatan dalam kehiduoan sosial mereka
Karena itu amatlah penting untuk dibangun cara berpikir dan cara bertindak yang baru terhadap peran BETA TANIMBAR DALAM BUDAYA DUAN LOLAT dalam ruang publik.